Diduga Perusahaan Tak Paham Aturan, Delapan Karyawan Lokal KSB Jadi Korban PHK

(Foto Ilustrasi PHK, Sumber Google)

InsideNTB.com, Sumbawa Barat – Sistem Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT) dan Karyawan mengundurkan diri (Resign) semakin tidak jelas dalam penerapannya yang di lakukan oleh perusahaan Sarana Artomoro Mandiri (PAS) sub kontraktor PT Penta Wira Agraha Sakti salah satu mitra bisnis PT Amman Mineral. Pasalnya, delapan karyawan menjadi korban PHK atas ketidakpahaman perusahaan terkait aturan PKWT dalam UU Tenaga Kerja.

Dalam UU Tenaga Kerja No 13 Tahun 2003 syarat pengunduran diri (Resign) berdasarkan Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa permohonan pengunduran diri disampaikan secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum off (tidak lagi aktif bekerja). Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pengusaha untuk mencari pengganti yang baru dan/atau melakukan transfer of knowledge bagi karyawan baru (pengganti).

Hal inilah yang dikeluhkan Junaedi salah seorang perwakilan 8 pekerja yang telah di PHK. Kepada awak media, belum lama ini menyayangkan perlakuan perusahaan yang seharusnya perusahaan tersebut menerapkan aturan berdasarkan UU No 13 tahun 2003 pasal 162 ayat (3).

“Jika merujuk kepada Pasal 154 huruf b jo. Pasal 162 ayat (4) UU 13/2003, dijelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Seharusnya, kami dapat bekerja melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri. Ini kan tidak, malah perusahaan ngotot untuk mengeluarkan kami dengan alasan kami telah mengundurkan diri, bahkan surat pengunduran tersebut di buat oleh pengawas lapangan yang bukan menjadi kewenangannya. Ini kan memaksa namanya. Saya tegaskan disini, perusahaan harus lebih banyak belajar aturan, agar paham terkait aturan yang akan diterapkan,” sesalnya.

Ia menegaskan kembali bahwa, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1). “Artinya, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Kalo perusahaan paham aturan tentang PKWT maka, wajib mereka mengikuti aturan yang ada. Jangan asal-asalan mengambil kebijakan,” sesalnya lagi.

Meski demikian, lanjutnya berbagai upaya telah di tempuh mulai dari mengadukan ke dinas terkait untuk di lakukan mediasi namun pihak perusahaan tetap tidak pernah memiliki itikad baik.

(Foto ist: Saat Zoom metting antara perusahaan dan karyawan korban PHK di fasilitasi Disnakertrans)

“Kami telah beberapa kali melakukan pertemuan pada Disnakertrans walaupun pertemuan tersebut melalui Zoom metting. Kami sayangkan keputusan perusahaan terlalu arogan dan tidak memberikan ruang kepada kami. Kami minta Pemerintah melalui Dinas Teknis tegas dan memanggil secara resmi Direktur perusaahan tersebut, bila perlu cabut izin operasionalnya karena perusahaan tersebut diduga tidak terdaftar ijin operasional diwilayah KSB. Selain itu, perusahaan tidak pernah menjalankan aturan tentang pemberian upah, salah satu contoh slip gaji sudah dua tahun kami bekerja tidak pernah kami terima. Dan jelas ini tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan UU tenaga kerja dan Kepmen. Sehingga, kami juga sayangkan sikap Disnakertrans terkesan bungkam dan tidak tegas dalam masalah ini,” sesalnya lagi.

Terpisah, Kepala Disnakertrans melalui Kabid HI Tohiruddin, SH, dihubungi awak media diruang kerja belum lama ini membantah jika pihaknya bungkam terkait permasalahan tenaga kerja lokal yang bermasalah, bahkan pihaknya telah dua kali telah memfasilitasi kedua pihak atas pengaduan para karyawan lokal.

Setelah menerima pengaduan, pihaknya langsung merespon serta melakukan klarifikasi kepada kedua belah pihak agar mendapatkan informasi yang berimbang serta melakukan pendalaman terkait permasalahan yang mereka hadapi saat ini.

“Yang jelas, kami telah panggil pihak perusahaan dan kita pertemukan dengan kita akan pertemukan dengan karyawan, namun sayang perusahaan tidak dapat hadir berhubung masih pandemi sehingga kami melakukan zoom metting dengan karyawan,” ujarnya.

Ia menegaskan, apabila dalam persoalaan ini terjadi pelanggaran maka pihaknya akan memfasilitasi sejauh mana pelanggaran atau norma yang telah di langgar karena butuh analisa.

“Memang, pada saat zoom metting berlangsung, ada beberapa stresing terkait pembelaan tenaga kerja lokal namun, perusahaan tetap pada pendirian karna mereka (karyawan_red) telah mengundurkan diri terlepas apapun proses didalam, sejauh ini kami masih melakukan pendalaman dan analisa,” jelasnya.

Selain itu, pihaknya juga menawarkan dua opsi terkait persoalaan yang di hadapi oleh tenaga kerja lokal yang pertama, karyawan mempunyai hak untuk melakukan hingga ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan kedua yang lebih umum karyawan dapat melaporkan kepada pengawas ketenaga kerjaan.

“Kewenangan kami hanya mampu melakukan klarifikasi dan mediasi, itu saja. Selanjutnya silakan teman-teman melakukan atau mengambil langkah untuk diproses sesuai aturan yang berlaku. Yang jelas kami terus melakukan pendekatan dengan kedua belah pihak, untuk mencari solusi terbaik. Intinya, kita lihat perkembangan minggu depan,” demikian, tutup, Tohir.

Diberitakan sebelumnya, Perusahaan Sarana Artomoro Mandiri (PAS) sub kontraktor PT Penta Wira Agraha Sakti memecat sedikitnya 8 karyawan lokal. Namun, ternyata pemecatan dinilai oleh pekerja dilakukan secara sepihak dan tidak melalui prosedur yang benar.

“Awalnya, kami standbye dalam site selama 10 hari mulai dari tanggal 25 Januari hingga tanggal 3 Februari. Jadi, sebelum tanggal 3 Februari kami meminta kepastian untuk tanggal 4 dan seterusnya meminta untuk pembayaran sesuai dengan kontrak. Akan tetapi pihak perusahaan menolak, bahkan kami di anggap mengundurkan diri,” ungkap Denny Indra perwakilan korban PHK, kepada awak media, Selasa (2/2/2021).

Denny pun menjelaskan, perusahaan seharusnya paham aturan seperti yang telah di sepakati dalam perjanjian kontrak kerja. “Masa iya, surat pengunduran diri, kami dibuat oleh mandor dilapangan, seharusnya admin yang membuatnya. Ini pelanggaran terhadap kaum buruh. Sementara kontrak kerja kami masih sekitar 9 bulan lagi,” sesalnya.

Hal yang sama di sampaikan Junaedi, menurutnya perusahaan tidak memahami aturan pemutusan hubungan kerja. Dan masalah ini, lanjutnya akan di laporkan kepada dinas tenaga kerja Kabupaten Sumbawa Barat.

“Hari ini, kami adukan masalah ke Disnakertrans dan di berikan tindakan tegas, dan diharapkan juga hak-hak kami dapat segera di bayarkan,” pintanya.

Sementara, Direktur PT PAS Kendy Argono dikonfirmasi pesan singkat Whatsapp menjelaskan, bahwa pihaknya tidak pernah memberhentikan karyawan sebelum kontrak kerja habis. Justru merekalah yang mengajukan sendiri surat pernyataan mengundurkan diri.

“Kejadian kemarin murni permintaan mereka sendiri yang mendadak minta berhenti, dan kami tidak pernah memaksa untuk membuat surat pengunduran diri, sehingga kami tidak bisa memenuhi target yang ditetapkan oleh mitra kami PT AMNT,” jelas Kendy singkatnya.(ID/RED

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!