DLHK NTB Terkesan Bungkam Soal Jual Beli Hutan di KSB

Sumbawa Barat | Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTB segera bertanggungjawab menyelesaikan dugaan jual beli hutan dikawasan perbatasan bagian selatan Sumbawa dan Sumbawa Barat.

Dari beberapa sumber menyebut, kawasan hutan tersebut diduga sudah diperjual belikan sekitar 10 hektar dengan nilai Rp 50 juta per hektar oleh oknum berinisial SDW warga Sumbawa Besar.

“Jadi, lahan di kawasan hutan itu mestinya di selesaikan dengan cepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika dibiarkan, selain dapat merusak ekosistem hutan juga berakibat pada gesekan antar warga masyarakat setempat. DLHK NTB jangan diam melihat persoalaan ini. Kita minta usut tuntas pelaku yang melanggar hukum itu,” kata aktifis Lingkungan Hidup Sumbawa Barat, Sanuddin, kepada belum lama ini.

Ia mengaku, lembaganya sudah berupaya mempertahankan kawasan hutan tersebut dengan membuka ruang komunikasi melibatkan oknum warga yang mengklaim sepihak lahan hutan itu, namun tidak direspon baik.

Pihaknya bahkan sudah melaporkan dugaan tersebut kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sejorong Mataiyang dengan melampirkan sejumlah bukti berupa foto, video, hingga rekaman pengakuan bahwa benar kawasan hutan tersebut sudah dijual oleh oknum warga tersebut kepada warga Lombok Tengah, untuk digunakan sebagai ladang jagung dan ilegal logging.

“Tiga kali kami mengajak pihak KPH dan Kades Mujahidin kesana. Pihak KPH mengakui benar lokasi tersebut masuk kawasan hutan Sumbawa Barat. Bahkan pada saat meninjau lokasi, pihak KPH mendapati adanya aktifitas penebangan kayu ilegal dikawasan itu,” bebernya.

Senada dengan hal tersebut, Sajammuddin warga Desa Mujahiddin, yang ikut bersama rombongan KPH pada saat turun ke lokasi membenarkan hal itu. Ia bahkan melihat truk melintas dikawasan itu bermuatan kayu tanpa izin.

“Kami melihat langsung aktifitas itu di lokasi posong Brang Sawe. Namun truk tersebut lolos begitu saja. Truk sempat ditahan namun keesokan harinya hilang tanpa jejak,” ungkap Sajamudin, membenarkan.

Ia meminta agar DLHK Provinsi NTB segera bersikap. Lemahnya penegakan peraturan tentang hutan, terutama dari pemangku kepentingan, membuat aksi mafia jual beli kawasan hutan semakin terbuka. Di kalangan masyarakat kawasan itu bahkan dijual dengan kisaran harga sekitar Rp 5 juta per hektare.

“Kalo diperkirakan, hutan yang dijual itu jumlahnya mencapai 10 hektar lebih. Kawasan itu belum termasuk kawasan hutan yang masuk ke dalam hutan kawasan Desa Mujahiddin, Kecamatan Brang Ene, Kabupaten Sumbawa Barat Sumbawa,” ujarnya.

Menurutnya, DLHK NTB mesti menindak secara hukum semua pihak yang terlibat dalam pusaran jual beli lahan hutan milik negara tersebut.

“DLHK itu penegak hukum. Kalau tanah negara dirampas, tindak dong secara hukum. Karena DLHK berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan perambahan kawasan hutan negara. Dan ini sesuai pasal 77 UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dimana setiap institusi penegak hukum baik Polri maupun termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada DLHK berwenang melakukan pemeriksaan terhadap dugaan melakukan tindak pidana kehutanan,” pungkasnya.

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sejorong Mataiyang, Syahril SH, kepada wartawan, Rabu 15 Maret 2023, membenarkan adanya penyerobotan kawasan hutan tersebut, dan dirinya mengakui telah berkoordinasi dengan KPH setempat untuk menyelesaikan persoalan dengan warganya.

“Benar ada aktivitas warga lombok di sana. Oknum tersebut mengaku membeli lahan kepada warga setempat sejumlah 10 hektar dengan harga Rp 5 juta per hektar,” kata Syahril.

Sementara Sirajudin, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Orong Telu, mengakui bahwa kejadian tersebut terjadi pada bulan September 2022. Bermula dari laporan Kades Mungkin tentang adanya perambahan hutan oleh warga lombok.

“Setelah koordinat yang dikasih oleh Kades Mungkin diolah, ternyata lokasi tersebut masuk wilayah KSB. Kami langsung berkoordinasi dengan KPH Sejorong untuk sama-sama menyelesaikan permasalahan perbatasan tersebut,” tutup Kepala KPH Orong Telu.