Auditor Hukum Sebut, Lembaga Uji Kompetensi Wartawan Perlu Lisensi dari BNSP

InsideNTB.com, Jakarta – Jadi perbincangan dunia kewartawanan di Indonesia, terkait sertifikasi profesi wartawan pasca BNSP mengeluarkan sertifikasi untuk 19 orang asesor uji kompetensi wartawan (UKW) kepada lembaga sertifikasi profesi (LSP) yang dikomandoi Hance Mandagi yang juga Ketua Umum Dewan Pers Indonesia (DPI).

Untuk diketahui, DPI dibentuk tahun 2019 oleh belasan organisasi kewartawanan dan dukungan dari ribuan wartawan yang kecewa terhadap Dewan Pers yang dinilai telah membredel kebebasan pers dengan cara membuat berbagai macam persyaratan, dan tudingan-tudingan pengurus Dewan Pers yang menyebut secara terbuka organisasi wartawan abal-abal.

Terkait dengan sertifikasi asesor dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Hance menyebut bahwa selama ini pelaksanaan UKW di Indonesia tidak pernah memiliki sertifikasi asesor dari BNSP.

Dilain sisi, UKW sudah banyak diselenggarakan oleh Dewan Pers yang berpusat di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, melalui lembaga-lembaga yang ditunjuk sendiri, dan sudah menerbitkan ribuan sertifikasi wartawan.

Hal ini menjadi polemik dan perdebatan sengit di kalangan wartawan, apakah penyelenggaraan UKW yang sudah pernah dilaksanakan dan sertifikat UKW yang pernah diterbitkan, legal atau tidak.

Menanggapi hal itu, auditor Hukum yang juga Ketua Umum Yayasan Rumah Pantau Indonesia (RPI), Rinaldo Saragih yang dimintai pendapat hukumnya belum lama ini mengatakan, bahwa sertifikasi profesi di Indonesia mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No.10 Tahun 2018 Tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

“Sehingga mengenai sertifikasi wartawan yang sudah diselenggarakan dan diterbitkan tanpa lisensi BNSP berarti sifatnya hanya sertifikat dari pelatihan-pelatihan biasa saja, tidak menjadikan seseorang itu menyandang status predikat profesi, bila tidak melalui BNSP,” sebut Rinaldo Saragih.

Perlu diingat, kata dia, Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) adalah lembaga pelaksanaan kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

” Jadi lisensi diberikan melalui proses akreditasi oleh BNSP yang menyatakan bahwa LSP bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melakukan kegiatan sertifikasi profesi,” jelasnya.

Sepengetahuannya, sertifikasi wartawan itu masih pro dan kontra di kalangan pelaku-pelaku pers di Indonesia. Hal itu masih pro dan kontra. Dan banyak organisasi kewartawanan yang menolak penyelenggaraan UKW sebagai penentu seseorang itu adalah wartawan atau tidak, bila tidak ada sertifikasi UKW disebut bukan wartawan.

Hal itu masih ada pertentangan, tapi sayangnya pengurus Dewan Pers terdahulu terlalu ngotot untuk memaksakan gagasan UKW yang masih prematur itu untuk diberlakukan hanya dengan menerima masukan-masukan dari organisasi-organisasi wartawan yang pro dengan hal itu.

Sehingga, sertifikasi asesor UKW yang dikeluarkan BNSP kepada 19 orang kepada orang-orang DPI, menurutnya itu adalah tamparan keras kepada oknum-oknum yang sudah menyelenggarakan UKW sebelum punya dasar hukum yang jelas apalagi menyebut sertifikasi UKW itu sebagai status profesi.

Dengan demikian, yang jadi korban adalah wartawan itu sendiri, khususnya yang sudah mengikuti proses UKW, bahkan sudah mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah demi mengikuti UKW.

“Belum lagi pemerintah daerah yang sudah membiayai dari uang negara kepada wartawan pokja setempat untuk ikut UKW,” tandasnya.

Dia menambahkan, bahwa sebetulnya profesi wartawan itu menjadi anomali kebebasan pers, karna menurutnya menunjuk atau menentukan seseorang itu wartawan atau tidak adalah pemimpin redaksi dari media itu sendiri.

“Berbeda dengan profesi pengacara, auditor hukum, bidan dan atau dokter yang bisa buka praktek sendiri. Wartawan kan tidak,” pungkasnya.(RED)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!