Eksistensi DPI di Tengah Praktek UKW Ilegal Dewan Pers dan PWI

InsideNTB.com, Jakarta – Merespon pernyataan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Sulawesi Utara terkait surat edaran Dewan Pers tahun 2018 yang menyebutkan 9 organisasi pers tidak diakui Dewan Pers, Ketua Dewan Pers Indonesia (DPI) yang juga selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) menganggap hal itu sebagai pernyataan yang gagal paham.

Persoalannya, selain sudah basi, Mandagi menilai pernyataan Yosep Adi Prasetyo saat menjabat Ketua Dewan Pers tersebut sebetulnya tidak berpengaruh bagi eksistensi ke 9 organisasi pers yang dituding tersebut, termasuk DPP SPRI.

“Buktinya kami masih diterima degan baik untuk beraudensi dengan Mentri Kominfo Rudiantara pasca surat tersebut beredar di seluruh kantor Kementrian dan Pemerintah Daerah se Indonesia. Ketika itu Menteri Rudiantara malah berjanji akan menyampaikan kepada Presiden Jokowi tentang pemaparan perjuangan kemerdekaan pers yang disampaikan langsung oleh kami selaku Ketum SPRI bersama dengan pimpinan organisasi pers lainnya,” ungkap Mandagi melalui siaran persnya, Kamis (21/01/2021) di Jakarta.

Mengenai surat edaran yang disebutkan Ketua PWI Sulut tersebut, justeru telah menjadi dasar laporan polisi terhadap Yosep Adi Prasetyo dan saat ini kasusnya sedang ditangani Polres Jakarta Barat. Bahkan, pada (20/07/2020) pihak Polres Jakarta Barat telah mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan untuk yang ke 3 kepada Ketum Persatuan Pewarta Warga Indonesia Wilson Lalengke selaku pelapor.

Mengenai 9 organisasi pers yang hanya diakui oleh Dewan Pers tidak ada pengaruhnya bagi SPRI dan sejumlah organisasi pers lainnya. Karena pada tahun tahun 2019 sejumlah organisasi pers telah sukses menggelar Kongres Pers Indonesia dan memilih anggota Dewan Pers Indonesia sebagai wujud nyata dari penegakan kemerdekaan pers.

Perlu diketahui, pergerakan kemerdekaan pers yang ikut dimotori pimpinan SPRI telah menghasilkan beberapa hal prinsip yang meluruskan kebijakan atau tindakan pelanggaran Undang-Undang yang dilakukan Dewan Pers dan organisasi pers konstituennya.

Salah satunya, ungkap Mandagi, adalah pernyataan bahwa kerja sama pemerintah dengan media yang belum terverifikasi Dewan Pers akan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan RI. Menyikapi hal itu, DPP SPRI langsung meminta klarifikasi ke BPK RI. Dan sebagai respon atas surat DPP SPRI, pihak BPK RI dua kali menyurat ke SPRI dengan jawaban tegas bahwa BPK RI tidak pernah menggunakan Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers yang menjadi dasar verifikasi media sebagai dasar hukum lelakukan pemeriksaan keuangan pemerintah.

Dia juga membeberkan, pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dilakukan Dewan Pers adalah pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan atau UKW secara ilegal. Lembaga Penguji Kompetensi yang ditunjuk secara sepihak oleh Dewan Pers sangat bertentagan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Domain pemberi lisnensi untuk lembaga penguji kompetensi adalah Badan Nasional Sertifikasi Profesi atau BNSP.

“Jadi 27 lembaga penguji kompetensi yang ditunjuk Dewan Pers untuk melaksanakan bisnis UKW adalah ilegal dan tidak memiliki dasar hukum melakukan uji kompetensi,” tandas Mandagi.

Ditegaskan pula, Standar Kompetensi Wartawan yang digunakan Dewan Pers dalam melakukan uji kompetensi sampai hari ini tidak diakui oleh negara karena belum pernah diregistrasi oleh Kementrian Ketenagakerjaan. Sebagai perbandingan, lanjut Mandagi, DPP SPRI pada tahun 2020 lalu telah menyusun Standar Kompetensi Kerja Khusus Wartawan dan telah diregistrasi secara resmi oleh Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementrian Ketenagakerjaan Republik Indonesia nomor : KEP.2/152/LP.000.000/III/2020 tentang Registrasi Standar Kompetensi Kerja Khusus Wartawan Serikat Pers Republik Indonesia.

Lebih lanjut dijelaskan, DPP SPRI telah mendirikan Lembaga Sertifikasi Profesi Pers Indonesia dan saat ini tengah menunggu proses pengurusan lisensi di BNSP agar legalitas melaksanakan kegiatan UKW bisa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Apa yang harus dibanggakan oleh PWI jika pimpinan dan wartawannya saja melaksanakan dan mengikuti UKW ilegal tapi tidak mengerti persoalannya. Mendirikan lembaga pendidikan saja harus ada izin, bagaimana mungkin melakukan ujian dan mengeluarkan sertifikat masak tidak ada ijin dari pemerintah. Tolong tanyakan ke Ketua PWI bagaimana tanggapannya sebagai wartawan senior,” urai Mandagi.

Pers itu sering melakukan pengawasan terhadap kegiatan ilegal, namun menurut Mandagi, akan menjadi ironis jika kemudian organisasi pers dan Dewan Pers sendiri melakukan kegiatan ilegal tapi tidak mengerti dan tetap saja melakukan bisnis UKW ilegal di seluruh Indonesia tanpa dikontrol.

“Sebagai wartawan yang dulu pernah aktif sebagai anggota PWI saya malu. Dewan Pers yang katanya independen dan didirikan untuk meningkatkan kehidupan pers malah bangga dengan tindakan menghina puluhan ribu media berbadan hukum dengan sebutan abal-abal. Padahal empat puluh ribu media yang disebut didirikan untuk memeras pejabat adalah usaha kecil media yang berjasa bagi bangsa dan negara karena telah ikut mengurangi angka pegangguran. Seharusnya mereka diberi stimulan dalam berusaha bukan malah dihina oleh Dewan Pers,” sesalnya.

Sebagai informasi, Mandagi menyampaikan, pihak Dewan Pers Indonesia telah memiliki 10 organisasi pers yang menjadi konstituen. Program utama yang sedang dan akan dilaksanakan adalah sertifikasi media dan persiapan pelaksanaan UKW sambil menunggu lisensi LSP Pers Indonesia dikeluarkan oleh BNSP. “Seluruh media yang mengalami kesulitan mengikuti verifikasi akan kami rangkul dan sertifikasi untuk menjadi bagian dalam Jaringan Media Dewan Pers Indonesia. Tujuannya adalah untuk dilakukan pembinaan dan peningkatan kualitas media agar semakin profesional dan mampu bersaing. Dan yang membanggakan adalah Refli Hertanto Puasa, wartawan dan pimpinan media dari Bolmut ditunjuk sebagai ketua tim peningkatan kualitas media seluruh Indonesia,” terangnya.

Mandagi juga mengatakan, saat ini SPRI sedang gencar memperjuangkan hak media lokal untuk mendapatkan belanja iklan nasional yang bernilai lebih dari 100 Triliun rupiah per tahun agar bisa terdistribusi ke seluruh provinsi dan tidak hanya dikuasasi atau dimonopoli oleh konglomerat media di Jakarta.

“Pers Indonesia harus sejahtera dan independen. Mari kita berjuang agar media lokal bisa kebanjiran iklan nasional bernilai triliunan rupiah agar wartawan lokal bisa digaji minimal 15 juta per bulan. Tidak ada yang mustahil jika kita semua berjuang bersama agar belanja iklan nasional bisa ikut dinikmati media lokal,” pungkasnya. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!