UMKM Butuh Reindustrialisasi bukan Romantisasi

Penulis:

Hendry Kusnadi Direktur Komunitas Kajian Kebijakan Publik (K3P)

Pandemi Covid-19 telah membawa perekonomian nasional dan global ke arah resesi ekonomi. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi nasional dan global yang negatif atau kontraksi. Perekonomian nasional sendiri, baru mengalami kontraksi pada triwulan II tahun 2020 dengan pertumbuhan ekonomi -5,3%.

Kontraksi tersebut terutama disebabkan oleh penurunan konsumsi rumah tangga akibat pembatasan sosial untuk mencegah Covid-19, penurunan belanja investasi termasuk untuk pembangunan dan perolehan aset tetap, dan penurunan realisasi belanja pemerintah termasuk belanja barang. Disamping itu, terjadi penurunan perdagangan luar negeri yang cukup tajam. Palung penurunan pertumbuhan ekonomi telah dilalui pada triwulan II, namun Covid-19 masih akan menahan pertumbuhan ekonomi pada triwulan III dan IV. Oleh sebab itu, Pemerintah berupaya untuk meningkatkan performance ekonomi nasional pada triwulan III dan diharapkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2020 sekitar -0,4% sampai 1%.

Untuk mencapai hal tersebut, Pemerintah melaksanakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diharapkan efektif mulai triwulan III. PEN tersebut terdiri dari 3 (tiga) kebijakan utama yaitu peningkatan konsumsi dalam negeri (demand), peningkatan aktivitas dunia usaha (supply) serta menjaga stabilitas ekonomi dan ekpansi moneter. Ketiga kebijakan tersebut harus mendapat dukungan dari Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, BUMN/BUMD, pelaku usaha, dan masyarakat.

Sebuah problem besar dari ekonomi Indonesia adalah terjadinya deindustrialisasi prematur. Maraknya UMKM ini merupakan tanda-tanda terjadinya deindustrialisasi, jadi bukan sesuatu yang patut diglorifikasi.

UMKM sudah mendominasi perekonomian Indonesia. Dibandingkan dengan negara-negara lain, persentase UMKM dalam komposisi ekonomi Indonesia itu sudah sangat tinggi. Kita sedang kekurangan usaha berskala besar, bukan kekurangan UMKM.

Ada konsep namanya ‘economy of scale’. Contohnya: jauh lebih efisien bagi satu pabrik super besar untuk merakit seribu mobil dibandingkan dengan seribu pabrik kecil untuk masing-masing merakit satu mobil.

Konsentrasi modal, teknologi, dan kapasitas organisasi sebuah perusahaan/pabrik besar memberi efek multiplikasi pada tingkat produktivitas. UMKM itu tidak terlalu produktif.

Ditambah lagi bahwa UMKM-UMKM yang sekarang trendy itu kebanyakan bergerak dalam sektor jasa. Hampir semua ekonomi negara maju pada awalnya didominasi oleh sektor agraria dan pertambangan, kemudian berkembang sehingga pindah fokus ke sektor industri manufaktur.

Setelah produktivitas industri mereka mencapai titik puncak, barulah mereka pindah fokus ke sektor jasa dan menjadi ekonomi post-industrial.

Produktivitas industri manufaktur Indonesia berkembang pesat di akhir Orde Baru, tapi melambat secara drastis setelah krisis 1998. Padahal tingkat produktivitas manufaktur kita belum sampai puncaknya.

Awalnya orang-orang bekerja di sektor industri yang padat nilai tambah. Setelah 1998, mereka pindah ke sektor jasa dan entrepreneurship yang kecil nilai tambah.

Kebanyakan orang di negara berkembang itu menjadi entrepreneur bukan karena ‘spirit mau kaya’, tapi sebagai ‘survival activity’ karena gak ada lapangan kerja yang layak dengan gaji yang cukup.

Yang kita butuhkan itu kebijakan-kebijakan pro-industri. Kita perlu reindustrialisasi, bukan romantisasi UMKM.

Kalau mau membuat welfare-state dengan sistem jaminan sosial mumpuni ala Skandinavia pun, kita juga perlu meningkatkan produktivitas ekonomi kita. Kalau gak bisa reindustrialisasi, ya bakalan jatuh ke middle income trap.

Kunci utama penyelesaian permasalahan tersebut berada pada pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota). Pemerintah daerah yang mempunyai wilayah, mengetahui kondisi dan kebutuhan UMKM, serta mempunyai akses langsung dengan UMKM. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut, pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan Kementerian/Lembaga terkait, pemerintah provinsi, perguruan tinggi, Bank Indonesia dan lembaga lainnya. Jika pemerintah daerah mau, UMKM akan maju. Dengan demikian akan tercipta fundamental perekonomian nasional yang kuat untuk Indonesia Maju.

Soal utama kita disini, sampai kapan kita biarkan UMKM jalan sendiri minus industri?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!