(Foto Ist : Keluarga SM menyerahkan pembayaran denda kepada pihak Kejaksaan Negeri KSB)
InsideNTB.com, Sumbawa Barat – Pasca keputusan Incraht (Berkekuatan hukum tetap) di Pengadilan Negeri Tipikor Mataram, terpidana berinisial SM pada kasus korupsi pengelolaan keuangan BPR NTB membayar denda sebesar 50 juta yang diberikan pihak keluarga kepada Jaksa Eksekutor Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Sumbawa Barat, Aji Rahmadi, SH.,MH, pada Kamis (8/4/2021).
Kepala Kejaksaan Negeri Sumbawa Barat, Suseno,.S.H,.MH, melalui Kasi Intel Kejaksaan I Nengah Ardika, SH, MH, menyampaikan penerimaan pembayaran denda tersebut sesuai dengan hasil putusan PN Tipikor Nomor : 17/Pid.Sus.Tpk/2020/Pn.Mtr tanggal 19 Nopember 2020 atas nama terpidana SM.
Selanjutnya, kata dia, uang hasil denda dalam perkara telah Incraht akan disetorkan kepada kas Negara dan akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kejaksaan RI.
“Denda tersebut, akan langsung kami setorkan pada kas Negara, dan itu akan menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kejaksaan RI,” ungkap Nengah singkatnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri KSB menerima pengembalian dokumen dan uang kerugian negara senilai Rp284.537.550,- dari kasus penyalahgunaan wewenang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tahun 2013, bertempat di Aula rapat Kejari, Selasa (22/12/2020) lalu.
Dari dokumen dan uang pengembalian ini diterima dari tindak pidana kasus penyalahgunaan wewenang, Bank BPR, dengan masing-masing terdakwa berinisial SM yang saat itu menjabat sebagai Kabag kredit, IK menjabat sebagai accounting, LW sebagai Kabag Umum dan HD sebagai staff perkreditan.
“Empat terdakwa dalam kasus ini sudah vonis, pada tanggal 12 Desember belum lama ini. Iya, hari ini kami serahkan langsung kepada pihak Bank BPR sebesar Rp284.537.550,-,” kata JPU Kasi Vidsus Aji Rahmadi, SH dalam keterangannya.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumbawa Barat, mengeksekusi empat terdakwa kasus penyalahgunaan wewenang di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ke Lapas Sumbawa. Keempatnya dieksekusi setelah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram menyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah dalam perkara tindak pidana korupsi dengan kerugian Rp466 juta.
“Keempatnya baru kita eksekusi badannya saja ke Rutan Sumbawa Besar, sementara untuk uang pengganti mereka tidak sanggup membayar sesuai dengan putusan hakim,” ungkapnya.
Karena mereka tidak membayar uang pengganti maka hukuman badan otomatis akan bertambah. Eksekusi yang dilakukan terhadap mantan pegawai BPR itu dilakukan setelah ada putusan ingkrah dari pengadilan Tipikor Mataram dan kedua belah pihak sama-sama menerima putusan tersebut. Eksekusi yang telah dilakukan tersebut hanya bersifat fisik saja, sementara untuk uang penganti mereka tidak sanggup untuk melakukan pengembalian. Sementara untuk pembayaran denda, pihaknya masih menunggu adanya itikad baik dari yang bersangkutan sesuai dengan jumlah yang diputuskan hakim.
“Karena mereka tidak sanggup mengganti uang tersebut, maka akan langsung terakumulasi dengan tambahan hukuman badan dan saat ini mereka tengah mulai menjalaninya,” sebutnya.
Meski putusan hakim yang menjatuhi mereka lebih ringan dari tuntutan JPU sudah tidak ada protes lagi. Karena JPU juga sudah menerima putusan itu begitu juga terdakwa dan penasehatnya. Sementara untuk uang pengganti tidak ada yang berubah hanya disubsidernya saja dari satu tahun menjadi enam bulan penjara. Terhadap putusan tersebut, pihaknya mengaku sudah sudah puas karena pada prinsipnya bagi pelaku tindak pidana korupsi harus diberikan hukuman yang maksimal. Hal itu dilakukan dalam rangka memberikan efek jerah bagi para pelaku yang memiliki keinginan untuk memperkaya diri sendiri.
“Memang putusan hakim lebih ringan dari tuntutan kita, tetapi Kami sudah menerima putusan itu karena kami anggap tidak terlalu jauh dari tuntutan,” timpalnya.
Disebutnya, terdakwa ida Komala dituntut pidana penjara selama dua tahun potong tahanan dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan. Dia juga dibebani dengan uang pengganti sebesar Rp127 juta subsider satu tahun penjara. Sedangkan putusan hakim yang bersangkutan hanya divonis penjara selama satu tahun enam bulan, denda Rp50 juta subsider satu bulan. Sedangkan untuk uang pengganti tetap Rp127 juta subsider delapan bulan.
Sri Mulyanti dituntut pidana penjara selama dua tahun potong tahanan dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan. Sedangkan putusan hakim penjara selama satu tahun enam bulan dan denda Rp50 juta subsider satu bulan. Hardianto dituntut pidana penjara selama satu tahun 10 bulan potong tahanan dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan. Sedangkan putusan hakim satu tahun empat bulan dan denda Rp50 juta subsider satu bulan dan dan Sulistyawati dituntut pidana penjara selama satu tahun empat bulan potong tahanan dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan. Sementara putusan hakim penjara satu tahun dan denda Rp50 juta subsiser satu bulan.(ID/RED)