Miras Mengancam Moral Daerah, Celah Perda Disorot: Pemda dan DPRD Diminta Berhenti ‘Main Mata’

Sumbawa Barat | Polemik minuman keras (miras) kembali memanas dan menjadi sorotan publik di Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Aliansi Rakyat Sumbawa Barat Bersatu, yang terdiri dari gabungan berbagai elemen masyarakat, pemuda dan mahasiswa secara tegas mendesak Pemerintah Daerah dan DPRD KSB untuk mengambil langkah konkret dan tidak mengkhianati aspirasi rakyat yang sejak lama menuntut penertiban peredaran miras.

Isu ini kembali menguat setelah beredarnya surat resmi dari West Sumbawa Hotel Association kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi NTB. Surat tersebut berisi permohonan penanganan serius atas masalah perizinan usaha pariwisata, khususnya terkait Surat Keterangan Penjualan Langsung Minuman Beralkohol di Kabupaten Sumbawa Barat.

Keberadaan surat ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat: apakah KSB sedang menuju arah pelonggaran izin miras atau justru terjadi kekacauan regulasi yang tidak dikendalikan secara serius oleh pemerintah daerah.

Aliansi menilai, langkah asosiasi hotel ini membuka dugaan bahwa ada ruang abu-abu dalam regulasi daerah yang belum diatur secara tegas, sehingga memicu kebingungan dan keresahan masyarakat. Hal ini diperparah dengan keberadaan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Usaha Pariwisata, yang di dalamnya terdapat poin mengenai makanan dan minuman namun masih bersifat sangat general.

Menurut aliansi, masukan dari masyarakat agar poin tersebut diperjelas menjadi “Makanan dan Minuman Halal” atau “Non Alkohol/Non Miras” hingga hari ini belum diakomodir oleh DPRD KSB. “Ungkap nya”, Kondisi ini memunculkan tanda tanya besar mengenai keberpihakan para legislator.

“Ini bukan soal redaksi kecil dalam perda. Ini soal masa depan moral daerah. DPRD harus menjelaskan keberpihakannya. Mengapa masukan masyarakat tidak diakomodir? Jangan sampai Perda justru menjadi celah bagi legalnya miras di KSB,” tegas Indra Dwi Herfiansyah Ketua Aliansi Rakyat Sumbawa Barat Bersatu.

Aliansi menilai bahwa ketidakjelasan dalam Perda tersebut berpotensi digunakan sebagai dasar bagi pelaku usaha untuk mengajukan izin penjualan miras, sebuah skenario yang sepenuhnya bertentangan dengan nilai-nilai religius, sosial, dan kultural masyarakat KSB.

Aliansi menilai bahwa adanya pengajuan penanganan perizinan miras oleh asosiasi hotel kepada DPMPTSP Provinsi NTB justru menunjukkan bahwa lemahnya langkah Pemda KSB dalam menjaga regulasi serta minimnya transparansi kepada publik. Mereka menilai bahwa persoalan miras tidak boleh hanya dipandang sebagai urusan bisnis, tetapi juga menyangkut moralitas, keamanan, dan masa depan generasi muda. Terlebih bahwa ini bentuk tidak menghargai Pemda KSB pada kebijakan desentralisasi wilayah.

“Ini alarm keras! Ada surat permohonan terkait izin penjualan miras, tetapi masyarakat tidak tahu apa sikap Pemda. Jangan sampai pemerintah bermain dua muka. Pemerintah dan DPRD jangan mengkhianati rakyat!” tegas Indra Ketua Aliansi yang juga merupakan Ketua Umum HMI Cabang Sumbawa Barat.

Menurut aliansi, situasi tersebut memperkuat dugaan bahwa terdapat celah yang dibiarkan terbuka dalam pengawasan perizinan, sehingga memicu keresahan masyarakat. Mereka menuntut kejelasan: apakah Pemda mendukung penertiban dan penindakan miras atau membuka ruang lebih besar bagi peredaran miras di wilayah KSB.

Aliansi Rakyat Sumbawa Barat Bersatu meminta Pemda dan DPRD untuk:

1. Mengambil langkah tegas dan transparan terkait peredaran miras, termasuk status dan proses surat yang diajukan West Sumbawa Hotel Association kepada DPMPTSP Provinsi NTB.

2. Melakukan revisi Perda Penyelenggaraan Usaha Pariwisata, khususnya pada poin makanan dan minuman, agar tegas dan tidak memberikan ruang bagi penjualan minuman beralkohol

3. Menertibkan seluruh peredaran miras ilegal maupun berizin yang menimbulkan keresahan publik.

4. Memperketat pengawasan pada usaha pariwisata agar tidak menjadikan celah perizinan sebagai sarana memperluas konsumsi miras di masyarakat.

5. Melibatkan tokoh agama, masyarakat, pemuda, mahasiswa dan lembaga adat dalam proses pengawasan dan pengambilan kebijakan.

6. Memberikan penjelasan terbuka kepada publik, agar tidak muncul spekulasi dan kecurigaan terhadap Pemda maupun DPRD KSB.

Beberapa warga yang ditemui juga menyampaikan kekhawatiran bahwa surat asosiasi hotel tersebut dapat menjadi pintu masuk meluasnya izin miras di KSB, sementara selama ini masyarakat justru bersuara keras menolak.

Publik kini menunggu sikap tegas pemerintah daerah: berpihak kepada kepentingan rakyat atau tunduk pada kepentingan tertentu di balik isu perizinan miras.

Dilain kesempatan, beberapa tokoh ulama di KSB menyampaikan bahwa peredaran miras merupakan sumber berbagai kerusakan sosial yang tidak boleh dinormalisasi. Mereka menekankan bahwa KSB adalah daerah yang menjunjung nilai religius dan menolak segala bentuk praktik yang merusak generasi muda.

“Jika miras dilegalkan melalui celah regulasi, maka itu bertentangan dengan syariat dan nilai moral masyarakat Sumbawa Barat. Pemerintah harus tegas menutup ruang itu,” ujar Ketua MUI Kabupaten Sumbawa Barat Dr. Tgh. Burhanuddin, QH., M.Pd

Sementara itu, tokoh adat menegaskan bahwa miras tidak sejalan dengan falsafah lokal dan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhur. Mereka menilai bahwa kelalaian dalam menjaga moral publik akan berdampak pada rapuhnya identitas daerah.

“Kami di adat melihat miras bukan hanya masalah hukum, tetapi masalah kehormatan. Jika regulasi tidak tegas, maka identitas KSB sebagai daerah berperadaban fitrah akan tercoreng,” tegas H.M Jafar Yusuf, S.Sos Wakil Ketua LATS Kabupaten Sumbawa Barat.

Dengan munculnya suara keras dari ulama dan adat, desakan kepada Pemda dan DPRD untuk bertindak semakin menguat. Publik kini menunggu, apakah pemerintah berdiri bersama rakyat atau memilih diam dalam isu krusial ini.