Sumbawa Barat | Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTB yang digelar di Kabupaten Sumbawa Barat harus menjadi momentum penting bagi para ulama untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap peran dan posisi strategisnya dalam kehidupan umat dan bangsa hari ini.
Kita menyaksikan bersama, realitas sosial keumatan dan kebangsaan yang kian memprihatinkan. Kemaksiatan dan dekadensi moral menjamur di ruang-ruang publik, sementara arus hedonisme dan krisis akhlak begitu kuat menghantam generasi muda kita. Namun, di tengah situasi itu, suara ulama kerap kali terdengar lirih, bahkan dalam beberapa hal, seolah terbungkam.
Rakorda ini bukan hanya sekadar agenda rutin kelembagaan, melainkan harus dimaknai sebagai momentum penting untuk melakukan evaluasi peran, arah, dan keberanian moral ulama di tengah tantangan zaman yang kian kompleks.
Kita hidup di era di mana kebenaran sering disembunyikan atas nama kepentingan, dan kemaksiatan justru ditampilkan sebagai hal lumrah. Krisis moral, degradasi nilai, serta rusaknya tatanan sosial, terutama di kalangan generasi muda, menjadi potret buram yang tidak bisa kita abaikan. Di saat yang sama, peran ulama sebagai penjaga nurani umat justru tampak melemah, bahkan dalam beberapa kasus, seakan terbungkam oleh tekanan kekuasaan, arus kepentingan politik, atau ketakutan kehilangan pengaruh sosial. Padahal sejarah mencatat, umat akan kuat ketika ulama bersatu dan berani bersuara.
Ulama adalah pewaris para nabi yang seharusnya menjadi benteng terakhir penjaga moralitas dan penuntun arah peradaban. Ketika ulama mulai enggan menegur, takut menasihati, atau memilih diam atas kemungkaran, maka sesungguhnya umat sedang berjalan menuju kegelapan.
Sebagai Ketua Umum HMI Cabang Sumbawa Barat, saya memandang bahwa Rakorda MUI ini harus menjadi titik balik, momentum penyatuan langkah, penyegaran semangat, dan kebangkitan keberanian ulama untuk kembali ke fitrah perjuangannya: menegakkan keadilan, membela kebenaran, dan menjaga moralitas umat.
Ulama tidak boleh diam. Diam berarti membiarkan kebatilan tumbuh subur. Ulama harus berani bersuara, berani menegur penguasa yang lalai, berani menasihati umat yang tersesat arah, dan berani menuntun generasi muda agar tidak kehilangan jati diri keislaman dan keindonesiaannya.
Rakorda MUI NTB di KSB ini harus menjadi momentum kebangkitan moral dan intelektual ulama. Rakorda ini tidak boleh hanya menjadi ajang seremonial yang berakhir dengan dokumentasi dan kata-kata indah, melainkan harus menghasilkan rekomendasi-rekomendasi yang berdampak bagi umat, komitmen nyata dan sikap keberanian bersama.
Ulama harus berani melakukan otokritik, menilai sejauh mana MUI telah menjalankan perannya secara independen dan substantif, sejauh mana ia masih menjadi pengawal nilai keislaman di tengah kekuasaan dan kapitalisasi moral. Sudah saatnya MUI tidak hanya hadir dalam bentuk fatwa di atas kertas, tetapi juga hadir di tengah umat dengan ketegasan sikap dan keberpihakan pada kebenaran.
Hari ini, generasi muda kehilangan arah nilai, terseret dalam pusaran media sosial, hedonisme, dan gaya hidup pragmatis yang menjauhkan mereka dari moralitas dan spiritualitas. Dalam kondisi ini, diamnya ulama bukanlah pilihan. Diam berarti membiarkan kerusakan semakin dalam. Diam berarti bersekongkol dengan kebatilan.
HMI mengajak MUI dan seluruh ulama untuk bersatu dalam keberanian moral, bersuara melawan ketidakadilan, menyuarakan kebenaran tanpa takut kehilangan posisi atau kenyamanan sosial. Karena ketika ulama bersatu dan berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka umat akan memiliki arah, bangsa akan memiliki pedoman, dan generasi muda akan kembali menemukan nilai-nilai luhur yang membentuk karakter mereka sebagai khalifah di muka bumi. (Al-Baqarah: 30)
Rakorda ini harus menjadi titik awal kebangkitan ulama di NTB, khususnya KSB, bukan sekadar refleksi, tetapi langkah konkret menuju keterlibatan aktif ulama dalam menyelamatkan masa depan generasi muda, umat dan bangsa. Sebab bila ulama terus diam, maka yang akan bersuara adalah kebatilan, bila ulama terus terpecah, maka yang akan bersatu adalah kemungkaran.
Maka dari itu, kami menyeru agar Rakorda MUI NTB di Sumbawa Barat menjadi panggilan nurani bagi seluruh ulama untuk kembali ke jalan keberanian, kejujuran, dan keteguhan dalam membela kebenaran. Karena hanya dengan itulah marwah keulamaan akan kembali bermakna, dan kehadiran MUI akan kembali dirasakan sebagai penuntun umat, bukan sekadar simbol kelembagaan.
Rakorda ini semestinya tidak sekadar menjadi forum seremonial, tetapi menjadi langkah nyata membangun konsolidasi moral dan intelektual di tubuh MUI, agar ulama kembali menjadi mercusuar umat di tengah gelapnya zaman.
HMI percaya, ketika ulama bersatu dan bersuara dengan keberanian moralnya, maka umat akan kembali memiliki arah, dan bangsa ini akan berdiri tegak di atas nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Indra Dwi Herfiansyah
Ketua Umum HMI Cabang Sumbawa Barat










