Perkuat Sinergi, BPKP NTB Dorong Budaya Sadar Risiko Kecurangan

Mataram | Dalam rangka memperkuat tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan berdaya tahan terhadap kecurangan, Perwakilan BPKP Provinsi Nusa Tenggara Barat menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Akselerasi Efektivitas Pengendalian Kecurangan pada Pemerintah Daerah: Bangun Budaya Sadar Risiko Anti Kecurangan.”

Acara tersebut digelar, di Mataram pada 2 Juli 2025 diikuti lebih dari 50 peserta yang terdiri dari Kepala Bappeda se-Provinsi Nusa Tenggara Barat, Inspektur se-Provinsi Nusa Tenggara Barat, Irban Khusus, Irban yang menangani SPIP serta Auditor pada APIP.

Kepala Perwakilan BPKP NTB Mudzakir dalam sambutannya menyampaikan bahwa pencegahan kecurangan harus dimulai dari komitmen pimpinan tertinggi, diikuti dengan penguatan pengendalian internal dan penerapan FRA.

“Budaya sadar risiko dan anti kecurangan tidak cukup hanya melalui regulasi, melainkan harus menjadi nilai yang hidup pada setiap individu di organisasi,” tegasnya.

Dengan penyelenggaraan FGD ini, BPKP NTB menegaskan komitmennya mendukung pemerintah daerah dalam rangka memperkuat integritas, mewujudkan good governance, dan melindungi pelayanan publik dari potensi kecurangan.

Menurutnya, kegiatan ini sebagai upaya dalam rangka mewujudkan pemerintah daerah yang bebas dari kecurangan memerlukan kolaborasi lintas sektor yang kuat, mulai dari penguatan sistem pengendalian internal hingga sinergi dengan aparat penegak hukum.

Salah satu inisiatif penting yang diusung BPKP NTB adalah pembangunan budaya sadar risiko (risk aware culture), yang diharapkan mampu mencegah kecurangan sejak tahap perencanaan. Sejalan dengan mandat BPKP sebagai auditor internal pemerintah, FGD ini menjadi wadah strategis untuk mendorong pemerintah daerah meningkatkan integritas, akuntabilitas, dan kapabilitas pengendalian kecurangan sebab tingginya kompleksitas pengelolaan keuangan daerah dan banyaknya program prioritas nasional di wilayah NTB menuntut upaya pencegahan kecurangan yang lebih terstruktur dan sistematis.

Berdasarkan hasil pengawasan BPKP NTB, masih terdapat sejumlah temuan rawan fraud, baik dalam pengadaan barang/jasa, pengelolaan aset, maupun perencanaan anggaran. Selain itu, penerapan Fraud Risk Assessment (FRA) di pemerintah daerah masih belum optimal, sehingga potensi kecurangan sering kali tidak teridentifikasi sejak awal.

Dalam kurun lima tahun sejak 2020 hingga triwulan pertama 2025, sebanyak 272 kasus korupsi terungkap melalui audit yang dilakukan oleh Perwakilan BPKP Provinsi Nusa Tenggara Barat maupun APIP di wilayah NTB, dengan total kerugian keuangan negara mencapai Rp240.399.338.361,59 yang terdiri dari 33 Kasus yang ditangani BPKP dengan total kerugian keuangan negara sebesar Rp178.789.381.873,70 dan 239 Kasus yang ditangani oleh APIP se NTB dengan total kerugian keuangan negara sebesar Rp61.609.956.487,89.

“Melalui FGD ini, diharapkan pemerintah daerah semakin memahami urgensi FRA dan mampu mengintegrasikannya ke dalam proses bisnis pemerintah,” pungkasnya.

Diketahui, dalam acara tersebut, dihadiri oleh tiga narasumber utama dalam memberikan pemaparan diantaranya, Kepala Kepolisian Daerah NTB yang dalam kesempatan ini diwakili oleh Bapak Dede Ruhiat Djunaedi, S.IK., MH selaku Irwasda Polda NTB, dengan topik “Peran Kepolisian dalam Penanganan Kasus Kecurangan pada Pemerintah Daerah di Wilayah Provinsi NTB,” Kepala Kejaksaan Tinggi NTB yang dalam hal ini disampaikan oleh Ibu Ely Rahmawati, SH, MM, MH selaku Plt Asisten Pidana Khusus Kejati NTB, dengan topik “Akselerasi Pengendalian Kecurangan: Perspektif Kejaksaan dalam Membangun Budaya Anti Kecurangan,” dan Direktur Investigasi I BPKP Pusat Bapak Dr. Evenry Sihombing, S.E., M.Si., dengan topik “Pencegahan Tindak Pidana Korupsi yang Efektif: Urgensi Implementasi Fraud Risk Assessment (FRA) pada Pemerintah Daerah.”

FGD kali ini menghasilkan beberapa rekomendasi bersama, di antaranya, penguatan penerapan FRA di seluruh pemerintah daerah, sinergi erat dengan aparat penegak hukum untuk deteksi dan penindakan cepat, serta peningkatan literasi risiko kecurangan bagi seluruh pejabat dan pegawai.