Opini  

Sistem Memilih Kepala Daerah Nampaknya Masih Menyisakan Masalah

Soal cara memilih Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) nampaknya masih menyisakan masalah.

Penulis : Jhonsar

‘Demokrasi Lokal Yang Tak Kunjung Tuntas’

Setiap Mendagri yang baru, selalu risau dengan sistem Pilkada kita. Pilkada yang mahal, transaksional, minim moral, rawan konflik. Yang paling menyedihkan, Pilkada “memaksa” kepala daerah untuk korupsi. Itu pula yang dikeluhkan Mendagri yang baru menjabat. Sehingga, timbul niat beliau untuk mengevaluasinya kembali.

Cara memilih kepala daerah ada tiga, di tunjuk langsung, dipilih anggota DPRD, dipilih secara langsung oleh rakyat. Dua cara terakhir menjadi perdebatan panjang. Kedua-duanya sudah pernah dipraktikkan di Indonesia. Ddab kedua-duanya menimbulkan masalah baru.

Sudah ribuan kajian, analisa, riset yang membahas tentang plus-minus pilkada oleh DPRD versus Pilkada langsung. Dan kedua-duanya memiliki dasar teori yang kuat, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Dua-duanya juga mempunyai sisi-sisi kelemahan.

Uniknya, dua-duanya sama-sama mahal. Sarat dengan politik uang, minim moral, dan rawan konflik. Hanya saja, politik uang dalam pilkada langsung lebih populis, dibanding pilkada lewat DPRD yang lebih elitis.

Kapan Tuntas?

Pemilihan kepala daerah adalah demokrasi lokal. Demokrasi lokal tidak lepas dari demokrasi nasional. Artinya, kemajuan demokrasi nasional berbanding lurus dengan demokrasi lokal. Itu sebabnya dinamika Pilkada diseluruh nusantara relatif sama.

Saat ini, masalah demokrasi kita tidak lepas dari, belum selaras antara instrumen dengan sistem nilai yang dianut. Bercita-cita egaliter, tetapi perprilaku feodal. Ingin Mengedepankan persamaan, tetapi maunya selalu istimewakan. Tidak ubahnya seorang gadis yang terobsesi punya tubuh yang langsing, tetapi doyan makan yang berlemak dan tidak mau olah raga.

Demokrasi hanya tumbuh dalam budaya yang rasional, bukan budaya hipokrit (munafik) seperti Indonesia. Dalam budaya yang hipokrit, uang dan kekuasaan menjadi ukuran sukses. Itu sebabnya tujuan hidupnya diarahkan untuk uang dan kekuasaan. Gambaran manusia unggul itu diasosiasikan sebagai orang yang, banyak harta, dikenal diberbagai kalangan, banyak yang memuji/mengangumi, diperhitungkan orang, serta religius.

Sedangkan Demokrasi adalah simbol dari kerendahan hati. Sebab hanya dalam kerendahan hati tercipta egalitarianisme. Dalam demokrasi, manusia unggul itu bukan seperti manusia unggul yang dikonsepsikan orang-orang hipokrit. Tetapi manusia yang memanusiakan manusia (Humanisme). Humanis berasal dari kata humus (Tanah). Tanah ada dibawah. Itulah sebabnya menjadi simbol kerendahan hati.

Demokrasi, bila digunakan untuk hal yang tinggi hati (Feodal) tidak akan cocok! Demokrasi akan cocok (Compatibel) untuk orang-orang yang rendah hati, egaliter, persamaan, keadilan, kejujuran. Sehingga demokrasi selalu identik dengan humanisme.

Sepanjang warga tidak peka terhadap nilai-nilai humanisme, maka demokrasi sulit berkembang. Politik uang akan tetap marak. Kekuasaan, harta, puja-puji, ingin dianggap berpengaruh, masih tetap tujuan favorit warga.

Maka tidak perlu risau dengan pilihan metode pemilihan kepala daerah. Mau dipilih lewat DPRD atau dipilih langsung rakyat, tetap tidak akan menyelesaikan masalah. Masalah ini akan berangsur lebih baik, bila nilai-nilai humanisme setiap orang beranjak baik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!